One Piece Gegerkan Indonesia: Simbol Protes Meledak Sebelum HUT RI!

- TikTok @HubPages
Menjelang puncak peringatan 80 tahun Hari Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus, gejolak kreatif di ruang publik justru memicu perdebatan nasional yang menyulut kontroversi. Simbol bajak laut dari manga fenomenal Jepang, One Piece, tiba-tiba meledakkan ekspresi protes dalam bentuk visual—mengusik arus utama dan menyulap angin perlawanan menjadi badai sosial.
“Jolly Roger” sebagai Pernyataan, Bukan Ancaman
Selama sebulan terakhir, mahasiswa, seniman mural, serta aktivis di beberapa kota besar Indonesia kerap memasang simbol Jolly Roger—tengkorak dengan topi jerami khas Luffy—sebagai cerminan ketidakpuasan mereka terhadap kebijakan pemerintah, terutama menyangkut korupsi, pengangguran, dan keputusan kontroversial menjelang HUT RI.
Di Bekasi, seorang muralis bernama Kemas Muhammad Firdaus (28) dengan tekad menghadapi terik siang hari melukis tengkorak bertopi jerami di dinding tembok, menabur pesan perlawanan dalam sapuan cat dan bayangan hitam. Tak jauh berbeda di Karanganyar, pesanan bendera One Piece membanjiri toko—hingga penjual Dendi Christanto harus menghentikan pesanan baru akibat lonjakan permintaan luar biasa.
Protes Ini Bukan Sekadar Gimmick
Alasan warga melambungkan simbol ini bukan sekadar fan service; simbol bajak laut tersebut menjadi representasi frustrasi kolektif terhadap pemerintah. “Banyak warga mengibarkan bendera One Piece karena mereka ingin pemerintah mendengar suara mereka,” tegas Kemas, dan seniman tersebut menambahkan jika muralnya juga menampilkan elemen desain dari logo resmi perayaan HUT ke-80.
Aksi ini menyambung jejak “Dark Indonesia” — demonstrations yang dilakukan mahasiswa pada Februari lalu menentang pemangkasan anggaran serta penguatan peran militer dalam ranah sipil. Kini, manifestasi visual lewat simbol anime memperluas lingkup protes mereka dengan cara yang tak terduga: menjadikan budaya pop sebagai bahasa politik baru.
Reaksi Pemerintah: Tegas, Tak Tahan Kritik
Namun, ekspresi kreatif tersebut mendapat sambutan dingin dari pemerintah. Sejumlah pejabat menyebut tindakan itu sebagai bentuk khianat dan ancaman terhadap persatuan nasional. Kantor Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa meski kebebasan berpendapat dihormati, simbol bajak laut ini berpotensi mendistorsi posisi bendera merah-putih jika dikibarkan berdampingan.
Langkah lebih konkret tampak di Jawa Timur, di mana beberapa bendera One Piece dilaporkan disita oleh aparat keamanan. Tindakan ini kemudian dikritik oleh Amnesty International sebagai upaya berlebihan dan represif terhadap kebebasan berekspresi.
Warisan Protes ’98: Botox Baru Memudarkan atau Memperkuat?
Gelombang protes simbolik ini menyusup ke memori kolektif bangsa atas era 1998—ketika mahasiswa turun ke jalan melawan korupsi, krisis ekonomi, dan otoritarianisme hingga runtuhnya rezim Presiden Soeharto. Tren ini menandakan bahwa meski formatnya telah bergeser—melalui mural, grafiti, atau bendera anime—semangat resistensi tetap menyala di ranah publik.
Sementara itu, pelarangan simbol dan aksi represif yang muncul menimbulkan kekhawatiran pelanggaran hak sipil dan demokrasi. Para aktivis khawatir bahwa pembungkaman ekspresi justru dapat memperkeruh situasi dan memperlemah kepercayaan publik.
Transisi Halus antara Seni, Politik, dan Panggilan Aksi
Lintasan semboyan protes lewat budaya pop ini menunjukkan kekuatan seni sebagai medium politik efektif. Transisi antara protes jalanan konvensional ke simbol visual menggenjot eksplorasi bentuk baru dalam demokrasi partisipatif.
Dalam ragam warna, simbol, dan lukisan, terbayang suatu narasi: warga ingin didengar, bukan hanya dilihat. Mereka menuntut reformasi, transparansi, dan dialog yang nyata—bukan sekadar seremonial kemerdekaan.